Dampak Krisis Iklim, CIPS Usul Manajemen Bencana dalam Sektor Pertanian

Lahan Pertanian Kekeringan di Bondowoso. (Sariagri/Arief L)

Editor: Yoyok - Kamis, 2 Februari 2023 | 12:00 WIB

Sariagri - Kebutuhan untuk memulai manajemen bencana dalam sektor pertanian semakin mendesak akibat semakin besarnya dampak krisis iklim. 

“Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana alam.  Lanskap geografis berupa kepulauan dan posisi Indonesia berbatasan dengan Samudera Pasifik menyebabkan negara tropis kita rentan terhadap perubahan fenomena meteorologis, seperti El Nino dan La Nina,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Mukhammad Faisol Amir di Jakarta, Kamis (2/2/2023).

Fenomena El Nino terparah sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada tahun 1997-1998, yang menyebabkan kekeringan panjang di Indonesia hingga gagal panen padi seluas 714.512 hektar. Sementara ancaman La Nina triple dip (tiga tahun berturut-turut) juga tengah mengintai kita sejak 2020. “La Nina triple dip dapat menyebabkan sebagian wilayah mengalami musim hujan lebih awal dan peningkatan curah hujan,” katanya.

Faisol mengungkapkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru-baru ini memperkirakan ada peningkatan kekeringan tiga kali lipat pada musim kemarau di 2023. Peningkatan kekeringan tersebut, apabila terjadi dalam waktu berkepanjangan dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kebakaran hutan di Indonesia.

Kekeringan juga dapat menunda panen dan menurunkan produksi. Padahal sebelum dampak krisis iklim dirasakan seperti saat ini, petani sudah dihadapkan pada risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen.

Menurutnya, guna meminimalkan risiko bencana, petani perlu memperhatikan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Renas PB menentukan prioritas dalam penanggulangan bencana, salah satunya berdasarkan lokasi.

Terdapat 24 provinsi yang dinilai rawan bencana Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada Renas PB 2020-2024.Lokasi prioritas ini juga tergantung pada beberapa hal seperti seberapa banyak jumlah jiwa dan infrastruktur yang terpapar, probabilitas kejadian lima tahun kedepan dan juga apakah kejadian berdampak pada lebih dari dua provinsi.

“Dampak bencana tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga menimbulkan dampak ekonomi karena menyerang daerah-daerah penggerak ekonomi, seperti sawah dan hutan,” ujar Faisol.

Faisol menambahkan, petani Indonesia, yang didominasi oleh petani kecil (yang memiliki lahan kurang dari 0,2 ha) umumnya memiliki dua masalah utama, yaitu mereka tidak mempunyai modal untuk memulai proses menanam dan mereka tidak mempunyai perlindungan kalau mereka mengalami kerugian akibat gagal panen. 

Lalu, untuk meminimalkan risiko kerugian akibat gagal panen, pemerintah masih mempunya pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan pemanfaatan  Sistem Resi Gudang (SRG).

SRG adalah suatu sistem yang memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya di gudang penerbit resi, menerima resi sebagai bukti kepemilikan komoditas yang disimpan, dan memungkinkan petani melepaskan hasil panen ke pasar dengan harga yang lebih tinggi di luar musim panen.

Selain itu, sistem SRG juga dimaksudkan sebagai alat untuk membantu meningkatkan akses pembiayaan bagi petani, kelompok tani, dan koperasi. Tanda terima hasil panen yang disimpan dapat digunakan  sebagai jaminan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 187 Tahun 2021 tentang Skema Subsidi Resi Gudang, pengguna berhak menerima pinjaman tidak lebih dari 70 persen dari nilai resi dengan maksimal Rp 500 juta per pengguna per tahun.

Sayangnya, adopsi SRG masih rendah. Data penelitian CIPS menunjukkan bahwa baru 800 dari 324.558 petani di Cianjur, Jawa Barat, yang menggunakan sistem ini.

Baca Juga: Dampak Krisis Iklim, CIPS Usul Manajemen Bencana dalam Sektor Pertanian
Sepanjang 40 Tahun, Cuaca Ekstrem Telah Tewaskan 142.000 Orang di Eropa

“Petani perlu diarahkan untuk turut mitigasi bencana dan meminimalkan risiko kerugian akibat bencana yang sangat mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka akan terbiasa dalam menggunakan cara-cara pertanian yang berkelanjutan dan aman untuk lingkungan,” cetusnya.

Faisol menambahkan, krisis iklim, yang memunculkan urgensi untuk manajemen bencana dalam sektor pertanian, semakin menunjukkan pentingnya sistem pertanian yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.