Mengenal Subak Bali, Sistem Irigasi Tradisional yang Penuh Filosofi

Sawah Berundak di Bali. (Foto: Wikimedia Commons)

Editor: Putri - Jumat, 27 Mei 2022 | 17:45 WIB

Sariagri - Bali memiliki organisasi yang mengatur sistem irigasi yang disebut subak. Namun yang perlu diketahui, subak bukan sekadar sistem irigasi, karena terdapat berbagai filosofi di baliknya.

Melansir situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, subak Bali adalah cerminan langsung dari filosofi dalam agama Hindu, Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan).

Filosofi tersebut mempromosikan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya (pawongan), dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya (palemahan).

Kearifan lokal yang terdapat pada daerah subak bali yaitu sistem irigasi dengan landskap sawah yang berundak-undak mengikuti garis kontur, adanya pembagian air dan pola tanam, serta sistem pengendalian hama melalui sistem ritual.

Kata "subak" berasal dari bahasa Bali, pertama kali terlihat di dalam prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. Kata tersebut mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang memiliki pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.

Subak Bali diketahui mampu bertahan selama satu abad lebih karena masyarakatnya setia kepada tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil, segala masalah dibicarakan bersama, bahkan sampai penetapan waktu tanam dan jenis padinya.

Selain itu, terdapat sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran. Sanksi tersebut ditentukan sendiri oleh warga dengan upacara yang dilakukan di pura. Harmonisasi kehidupan seperti ini yang menjadi kunci lestarinya budaya Subak.

Menjadi Warisan Budaya UNESCO

Subak Bali adalah termasuk dalam Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) UNESCO per 6 Juli 2012. Subak Bali dinilai memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value) yang memenuhi tiga kriteria dari 'Pedoman Operasi untuk Implementasi Konvensi Warisan Dunia UNESCO.'

Sistem tersebut dinilai memiliki keunikan dan pengakuan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih berlaku. Selain itu, UNESCO menilai subak merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia dan tata-guna lahan serta adanya asosiasi dengan tradisi budaya, ide, atau kepercayaan.

Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Bali. Subak di Bali memiliki luas sekitar 20.000 hektare terdiri atas subak yang berada di lima kabupaten, yaitu kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.

Banyak petani yang masih menanam padi tradisional tanpa pupuk atau pestisida dan lanskap secara keseluruhan terlihat memiliki arti yang sakral.

Museum Subak Bali

Pentingnya subak dalam kehidupan masyarakat Bali juga terlihat dari didirikannya Museum Subak Bali. Museum ini memamerkan koleksi alat-alat pertanian yang dipakai dalam bertani dan sistem pengairan/irigasi tradisional Bali.

Museum ini selalu menjadi tujuan wisata para pelajar atau wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Museum Subak ini terletak di Desa Banjar Anyar, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Jarak tempuh dari Kota Denpasar sekitar 21 km.

Mengutip berbagai sumber, berdirinya museum bermula dari gagasan yang dicetuskan oleh I Gusti Ketut Kaler pada 17 Agustus 1975. I Gusti Ketut Kaler adalah pakar adat dan agama yang pada waktu itu bekerja di Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali.

Baca Juga: Mengenal Subak Bali, Sistem Irigasi Tradisional yang Penuh Filosofi
Sejarah dan Alasan Petani Indonesia Pilih Sistem Tabela untuk Menanam Padi

Saat ia mencetuskan bahwa tujuan didirikannya museum untuk melestarikan lembaga adat subak sebagai warisan budaya bangsa yang luhur. Selain itu, museum ini diharapkan dapat memperkenalkan generasi muda dan wisatawan tentang sistem irigasi tradisional Bali yang unik dan penuh makna.

Gagasan tersebut awalnya diwujudkan dengan dibentuknya 'Cagar Budaya Museum Subak' namun ganti nama menjadi Museum Subak. Museum ini diresmikan pada 13 Oktober 1981 oleh Gubernur Bali Prof Dr. Bagus Mantra.