Berita Pertanian - Singapura merupakan negara kecil yang kaya, tapi sulit untuk memastikan ketahanan pangan melalui produksi sendiri.
SariAgri - Singapura merupakan negara kecil yang kaya, tapi sulit untuk memastikan ketahanan pangan produksinya sendiri. Pasalnya, keterbatasan lahan, air bersih dan tenaga kerja.
Karena itu, pemerintah Singapura berusaha keras mengelola ekonominya dengan menjaga keseimbangan antara impor makanan dan produksi sendiri.
Menurut laporan Singapore Food Agency, negara dengan luas sekitar 800 km2 ini mengimpor 90 persen kebutuhan pangannya pada tahun 2019 lebih dari 170 negara, yang tersebar secara geografis.
Produksi dilakukan terutama di sekitar perairan pantai (untuk ikan) dan di enam taman agro-teknologi yang secara kolektif mencakup sekitar 1,8% dari total luas lahan (digunakan untuk menghasilkan ikan, sayuran, telur dan lainnya seperti burung puyuh dan katak).
Menurut data Singapore Food Agency per 2019, terdapat 77 pertanian sayuran, 3 peternakan ayam petelur dan 122 peternakan ikan. Peternakan ini memenuhi, masing-masing 14%, 10%, dan 26% dari kebutuhan sayuran, ikan dan telur di pulau itu, untuk populasi 5,7 juta manusia.
Baca Juga: Rahasia Pertanian Ethiopia 'Tundukkan' RI Soal Keberlanjutan Pangan
5 Cara Jitu Manfaatkan Teknologi Demi Swasembada Pangan di Indonesia
Hebatnya, negara ini memiliki kinerja perekonomian dan ketahanan pangan yang baik menurut perbandingan global, misalnya Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Indeks/GFSI) yang diterbitkan setiap tahun oleh Economist Intelligence Unit, Inggris.
Pada tahun 2019, Singapura menduduki peringkat negara paling aman pangan dari 113 negara. Singapura mendapat nilai tinggi pada masalah ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan.
Namun semua itu terjadi sebelum masa Pandemi COVID-19. Ketika Badai Corona melanda dunia dan banyak negara menerapkan lockdown, rantai pasokan makanan secara global terganggu dan Singapura terkena imbasnya.
Mengutip tulisan Profesor Paul Teng, yang diterbitkan di situs ncbi.nlm.nih.gov, gangguan pasokan pangan global dan kenaikan harga selama krisis pandemi Covid-19 akibat kebijakan lockdown dimana-mana, memaksa pemerintah meninjau kembali peran pertanian (nasional) sebagai penyangga terhadap gangguan tersebut.
Puncaknya adalah dengan diluncurkannya program ambisius pada Maret 2019, untuk meningkatkan swasembada nutrisi hingga 30% (dari 10%) pada tahun 2030, yang disebut “Singapore Food Story”, dan juga meluncurkan Badan Pangan Singapura yang baru.
Profesor Paul Teng merupakan Managing Director, NIE International Pte. Ltd., dan Adjunct Senior Fellow, Center for Non-Traditional Security Studies, RSIS, keduanya berasal dari Nanyang Technological University, Singapura.
Ia menjelaskan, “Singapore Food Story” memiliki tiga area fokus yakni Pertanian perkotaan dan akuakultur (pertanian dalam dan luar ruangan berteknologi tinggi), Pangan masa depan (menargetkan protein alternatif seperti protein nabati dan daging seluler, dll.) dan Ilmu dan teknologi pangan, yang akan menjadi dasar inovasi dalam pertanian dan pengolahan makanan.
Program ini akan memanfaatkan semua keahlian yang ada di lembaga pendidikan tinggi, lembaga pemerintah dan sektor swasta, dengan dukungan dana tahap awal sebesar 144 juta dolar Singapura (sekitar 101 juta dolar AS).
Dana tambahan lain sebesar 30 juta dolar Singapura (sekitar 21 juta dolar AS) tersedia mulai April 2020, untuk meningkatkan produksi sayuran, telur dan ikan oleh peternakan lokal dalam waktu sesingkat mungkin.
Program ini merupakan langkah antisipasi terhadap gangguan rantai pasokan makanan jika pandemi berlangsung lebih lama. Pemerintah juga semakin banyak mendanai penelitian yang dilakukan universitas-universitas di Singapura dan kolaborator luar negeri mereka untuk meningkatkan pertanian di negara tetangga.
Sebagai negara kepulauan kecil, Singapura telah menyadari batasan seberapa banyak yang dapat diproduksi secara realistis, bahkan dengan penggunaan teknologi yang efisien.
Karenanya pemerintah tetap mempertahankan impor secara bertanggung jawab atas sebagian besar kebutuhan pangan. Pada Maret 2020 Singapura mengembangkan "Perjanjian Konektivitas Rantai Pasokan" yang mengikat dengan lima mitra dagang lainnya.
Bersamaan dengan hal itu, pemerintah Singapura membangun proyek kolaborasi produksi pangan luar negeri yang memungkinkan sebagian dari produksi untuk diekspor kembali ke Singapura. Contohnya adalah zona agribisnis 2.500 km2 di provinsi Jilin, Cina yang sudah mulai mengekspor beras.
Memang, tidak semua inisiatif yang diambil oleh Singapura dapat diadopsi oleh negara pulau kecil lainnya. Namun demikian mereka memberikan indikasi tentang apa yang mungkin.