Nasib Petani Pasca 10 Tahun Kerusakan PLTN Fukushima

Pegunungan di Fukushima, Jepang (Pixabay)

Editor: Arif Sodhiq - Rabu, 17 Februari 2021 | 18:00 WIB

SariAgri - Hancurnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Prefektur Fukushima akibat gempa dan tsunami tahun 2011 lalu berdampak kepada kehidupan masyarakat setempat, khususnya petani lokal.

Petani lokal berusaha menghilangkan bayang-bayang radiasi pada hasil pertanian mereka sehingga nantinya lahan pertanian dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pasca gepa dan tsunami, hasil panen beras tahunan di Fukushima terus menurun. Menurut data, hasil panen beras turun drastis dari 445.700 ton di tahun 2010, menjadi 353.600 ton pada tahun berikutnya.

Setelah itu, hasil pertanian khususnya beras hanya sekitar 350 ribu ton-380 ribu ton setiap tahunnya. Melalui upaya promosi, Pemerintah Jepang masih bisa mengekspor beras asli Fukushima meski tidak sebanyak sebelum terjadi bencana.

Pengiriman ke Hong Kong misalnya turun menjadi 2,6 ton pada tahun fiskal 2019 dari sekitar 100 ton pada tahun fiskal 2010 karena penguatan pembatasan pembelian yang diberlakukan.

Semua beras produk Fukushima harus menjalani pemeriksaan sesium dan zat radioaktif sisa lainnya untuk menjamin keamanannya. Pada tahun 2020, padi yang ditanam di daerah selain 12 kota di dekat pembangkit listrik diperiksa secara acak.

Baca Juga: Nasib Petani Pasca 10 Tahun Kerusakan PLTN Fukushima
Varietas Padi dan Teknologi Adaptif Lahan Rawa di Food Estate Kalteng

Pada tahun yang sama, beras asli Fukushima yaitu "Fuku, Warai" dipanen untuk pertama kalinya setelah 14 tahun dikembangkan Pusat Teknologi Pertanian setempat.

Dari total 37 ton yang dipanen, produsen menjual 16,8 ton melalui internet dan toko di wilayah metropolitan Tokyo. Angka ini melebihi proyeksi penjualan yang sebesar 15 ton. Penjualan secara penuh beras asli yang memiliki ciri-ciri rasa manis dan aroma khas akan dimulai tahun ini.