Laporan Khusus: Dilema Berlarut Degradasi Lahan Pertanian

Editor: Yoyok - Sabtu, 4 Februari 2023 | 12:00 WIB
Sariagri - Degradasi atau alih fungsi lahan pertanian sudah berlangsung lama. Ironinya, saban waktu bukannya berkurang tapi bertambah. Badan Pusat Statistik [BPS] mencatat setiap tahun terjadi penyusutan lahan pertanian sebesar 60.000-100.000 hektare. Angka ini nyaris setara dengan angka penurunan produksi sebanyak 300.000 ton setiap tahun.
Itu baru berupa lahan pertanian yang beralih fungsi, entah menjadi kawasan komersial, properti atau pembangunan infrastruktur. Sebab, lahan yang mengalami penurunan fungsi juga banyak tapi belum terdata.
Dengan kata lain, degradasi kualitas tanah banyak yang tidak disadari, tetapi proses ini terus berlangsung menyebabkan kehilangan nutrisi dan karbon tanah, dan menurunnya produktivitas tanah. Kondisi ini mau tak mau mengakibatkan krisis pangan dan sosial ekonomi.

Runyamnya lagi, akibat berkurangnya lahan pertanian, jumlah petani pun ikut menurun. Hal ini menyedihkan karena alih fungsi lahan pertanian gagal membuka lapangan pekerjaan atau mengakibatkan petani rugi. Harapan petani, terutama keluarga petani, pada pembangunan menjadi sia-sia, mereka menjadi miskin.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Totok Agung Dwi Haryanto, mengatakan berkurangnya lahan sawah 100.000 hektar setiap tahun maka dalam 10 tahun ke depan lahan sawah Indonesia akan kehilangan 1 juta hektare.
"Sawah kita itu hanya 7,4 juta hektare. Berarti dalam waktu 74 tahun lagi, kalau dibiarkan habis sawah kita,” ujarnya.
Totok mengatakan pemerintah mengerti sekali soal itu maka ada program cetak sawah baru. Tapi kemampuan cetaknya tidak lebih dari 50 persen. “Kalau tidak lebih dari 50 persen maka 74 tahun yang akan datang sawah kita tinggal 37 juta hektare. Itu kan ngeri sekali," ucapnya.
Menurut Totok, dalam menekan laju konversi lahan, pemerintah perlu membuat regulasi yang implementatif sehingga konversi lahan bisa ditekan serendah-rendahnya. Ia menambahkan bahwa selama ini konversi lahan selalu dikalahkan dengan kepentingan ekonomi nasional.
Fakta tentang alih fungsi lahan pertanian kembali mencuat saat Wakil Presiden [Wapres] Ma'ruf Amin saat membuka Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian di Gedung Bidakara, Jakarta, Rabu [25/1/2023].
Wapres Ma’ruf mengatakan lahan pertanian semakin menyusut karena alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. “Ini menjadi masalah kritikal. Hal ini dapat menjadi ancaman nyata ketahanan pangan kita," kata Ma'ruf.
Ma’ruf Amin kemudian meminta Kementerian Pertanian [Kementan] untuk membuat terobosan dalam meningkatkan produktivitas dan penciptaan nilai tambah produk pertanian. Ia pun mendorong Kementan menggandeng berbagai pihak seperti perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lembaga penelitian untuk menciptakan inovasi-inovasi di bidang pertanian. "Harapannya, walaupun lahan terbatas, produktivitas dan pendapatan petani dapat terus ditingkatkan," ujar Ma'ruf.
Biasanya, alih fungsi dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol dan fasilitas umum lainnya.
Sesungguhnya, pemerintah melalui Kementan sudah melakukan berbagai upaya pencegahan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, dengan harapan untuk bisa mengontrol dan menjaga keseimbangan semua aspek, termasuk ekonomi, sosial masyarakat, dan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Menteri Pertanian [Mentan] Syahrul Yasin Limpo juga terus mengecam dan mengancam bagi siapa saja yang berani mengalihfungsikan lahan pertanian. Ancaman tersebut telah diatur dalam Undang-undang 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (lihat infografis).

"Arah pengaturan dari undang-undang ini adalah untuk melindungi lahan pertanian pangan dari derasnya arus degradasi, yang dimaksudkan agar bidang-bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktivitas pertanian pangan yang sesuai peruntukan," ujar Mentan.
Menurut Mentan, undang-undang tersebut juga menegaskan sanksi perorangan dan perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap alih fungsi lahan pertanian, dimana Pasal 72, 73, dan 74 menerangkan dengan rinci denda dan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran aturan.
"Yang pasti, dalam aturan ini disebutkan bahwa setiap orang yang sengaja mengalihfungsikan lahan akan dijerat dengan tindak pidana kurungan selama lima tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp5 miliar, ujar Menteri Syahrul.
Dampak Luas
Alih fungsi lahan akibat pembangunan infrastruktur tanpa memperhatikan dampak kesehatan lingkungan ternyata menimbulkan dampak yang luas. Artinya, ketika pemanfaatan lahan melampaui daya dukungnya maka alam bukan lagi menjadi sumber daya melainkan bencana.
"Adanya keluhan ketika hujan datang lingkungan sekitar akan banjir dan krisis air bersih. Kawasan yang menjadi resapan air dengan berbagai tanaman dan pohon perlu dipertahankan tidak boleh menjadi pemukiman yang dapat merusak fungsinya," ujar Kepala BPS DIY, Sugeng Arianto.
Sugeng menyampaikan dengan luasnya lahan pertanian terdampak pembangunan infrastruktur, maka sebaiknya perlu dilakukan evaluasi menyeluruh kembali terhadap pelaksanaan program Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
"Kendala utama penyebab tidak lancarnya pelaksanaan LP2B harus menjadi fokus perhatian, sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan. Dengan demikian lahan pertanian tidak terus tergerus dan selanjutnya daerah menjadi mandiri secara pangan," katanya.
Kebijakan Sawah Abadi
Prof Totok menegaskan untuk menekan laju konversi lahan membutuhkan political will dari pemerintah secara konsisten. Artinya, apabila ada satu kawasan yang sudah diklaim atau dilindungi undang-undang untuk menjadi sawah abadi, dengan alasan apapun tidak boleh dikonversi.
"Walaupun ada kebijakan lahan sawah abadi seringkali bisa dikalahkan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi," ujarnya.
"Misalnya pemerintah daerah atau kabupaten yang memandang untuk meningkatkan pendapatan daerah itu membangun kawasan baru seperti pertokoan, restoran atau pemukiman yang bisa mendatangkan pendapatan asli daerah. Kebijakan ini seringkali bisa mengalahkan kepentingan jangka panjang untuk melindungi wilayah-wilayah sawah abadi," tuturnya.
D isisi lain, ia mengungkapkan bahwa luas lahan perkebunan semakin tahun makin bertambah. Saat ini luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 16 juta hektar. Menurutnya, dengan lahan kelapa sawit yang ada sebetulnya berpotensi untuk bisa produksi tanaman pangan.
"Sebetulnya kelapa sawit itu potensinya kuat untuk bisa produksi pangan termasuk beras, karena kelapa sawit seluas itu selalu ada lahan yang sedang replanting atau tanam ulang. Nah replanting ini kan tahun 0 sampai keempat belum sampai panen sawit. Itu sebetulnya bisa ditanami padi," ujarnya.
"Nah, itu adalah peluang besar yang belum banyak diperhatikan. Nah kalau sekarang replantingnya 10 persen saja dari luas sawit kita 16 juta hektar berarti kan itu 1,6 juta hektar, itu kan tetap potensi. Walaupun hanya bisa dipanen satu kali dalam setahun itu sudah luar biasa kontribusinya," sambungnya.

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian menyampaikan bahwa Laju konversi lahan (pangan) menjadi non-pangan itu masif dari tahun ke tahun.
"Saat ini, ancaman konversi lahan semakin mengkhawatirkan pasca lahirnya UU Cipta Kerja dan berlanjut dalam Perppu Cipta Kerja. Dalam peraturan tersebut, diatur mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dapat mengkonversi tanah-tanah yang sudah dikategorikan sebagai lahan pangan produktif atau berkelanjutan menjadi lahan non pangan," jelasnya.
Ia mengatakan langkah yang paling penting untuk menekan laju konversi lahan adalah memastikan pemerintah mengimplementasikan UU 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Karena secara peraturan, lanjutnya, ini sudah cukup kuat untuk melindungi lahan-lahan pertanian yang sudah ada dan produktif, dan selama ini menghasilkan pangan untuk daerah masing-masing.
Menurutnya, implementasi regulasi UU 41 Tahun 2009 masih lemah, meskipun di beberapa daerah sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi lahan-lahan pertanian yang produktif.
"Tetapi kembali lagi, ada celah yang kerap kali digunakan untuk mengalihfungsikan lahan pertanian yang produktif dengan mengatasnamakan kepentingan umum seperti pembangunan jalan tol, waduk, proyek strategis nasional, dan sebagainya. Dan jika lihat bagaimana getolnya pemerintah di tingkat pusat untuk mendorong Perppu Cipta Kerja dan proyek-proyek infrastruktur skala besar lainnya, upaya untuk melindungi lahan pertanian di tingkat daerah akan semakin besar tantangannya," ungkapnya.
Adapun cara lain yang harus dilakukan pemerintah adalah melaksanakan reforma agraria. Menurutnya, reforma agraria harus menjadi agenda utama karena melalui program ini pemerintah dapat meningkatkan jumlah lahan pertanian dengan meredistribusi tanah kepada petani gurem, petani tak bertanah, bahkan buruh tani.
"Jadi pemerintah menjamin ketersediaan tanah sebagai faktor produksi utama bagi petani," jelasnya.

Ketua Presidium Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan menegaskan secara peraturan perundang-undangan pemerintah tidak serius dalam konteks alih fungsi lahan pertanian.
"Dalam Undang-undang perlindungan lahan atau Perda itu kan seharusnya petani mendapatkan insentif supaya bisa mempertahankan lahan. Tampaknya, petani yang merugi bertemu dengan tidak efektifnya pemerintah mencegah alih fungsi lahan menyebabkan alih fungsi lahan terjadi," jelasnya.
Baca Juga: Laporan Khusus: Dilema Berlarut Degradasi Lahan PertanianSelain Cegah Banjir, Bendungan Rp1,9 Triliun Ini Bisa untuk Pertanian
Ia menegaskan, sebenarnya penanggung jawab tata ruang atau daerah penetapan kawasan tertelat di Pemerintah Daerah.
Sementara, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian lebih ditekankan pada konteks pemberdayaan petani. Kemudian, Kementerian Agraria Tata Ruang dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatur soal objek tanah.
"Ketika lahan itu lahan pertanian sudah ditetapkan menjadi kawasan kemudian dijual untuk kepentingan non pertanian seharusnya oleh BPN juga ditahan sertifikatnya supaya tidak keluar. Misalnya kawasan sudah beralih dari lahan pertanian kemudian dijual potensi peruntukannya untuk non pertanian berarti kan itu bisa direm sejak dari notaris pemberian hak di BPN bahkan itu kalau dari pertanian untuk non pertanian kan ada sanksinya pidana," ucapnya. (yoyok bp. rashif usman)