Data Valid Food Estate, Hanya Tuhan dan Kementan yang Tahu!

Presiden Jokowi bersama Mentan Syahrul tinjau lokasi food estate Jateng. (Dok. Kementan)

Editor: Tatang Adhiwidharta - Senin, 30 Januari 2023 | 13:30 WIB

Sariagri - Demi menjaga ketahanan pangan, pemerintah Indonesia membuat sebuah program bernama Food Estate. Sayangnya, sejak awal dimulai menuai pro-kontra di masyarakat.

Kini, lumbung pangan atau food estate ini menjadi perbincangan lagi, karena dinilai gagal dan menyajikan data yang tidak valid.

Betapa tidak, Komisi IV DPR RI mengungkapkan data food estate tidak valid alias 'palsu'. Dalam artian Ketua Komisi IV DPR menyebutkan bukan proyeknya yang palsu, tapi data dan laporan perihal produksinya belum begitu akurat.

"Saya juga tergelitik baca di media. Food estate palsu, nggak ada yang palsu food estate. Kalau palsu itu berarti tidak ada food estatenya. Tapi ini ada food estatenya. Yang kurang pas adalah laporan perihal produksinya,"papar Ketua Komisi IV DPR Sudin saat membuka Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Eselon I Kementan.

Food Estate Diklaim Membuahkan Hasil

Kemunculan soal food estate gagal ini, membuat beberapa eksekutif buka suara, salah satunya Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Menurutnya proyek lumbung pangan sudah membuahkan hasil. Praktis hal ini menampik tudingan dari DPR RI.

Selain itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membantah keras tudingan atas gagalnya proyek lumbung pangan atau food estate yang tengah digencarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pro-Kontra Food Estate

Sejatinya, konsep food estate secara garis besar digunakan untuk melakukan pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu.

Namun yang sedang aktif digaungkan pemerintah bertumpu pada persoalan pangan. Food estate ada sebagai upaya menjadikan lumbung pangan nasional agar pasokan makanan dalam negeri tidak mengalami kekurangan.

Berdasarkan informasi KPPIP, food estate juga akan dibangun di Kalimantan Barat (120 ribu ha), Kalimantan Tengah (180 ribu ha), Kalimantan Timur (10 ribu ha) dan Maluku (190 ribu ha) dan Papua (1,2 juta ha).

Khusus di Kalteng, sempat ada program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, lalu sempat direvitalisasi oleh pemerintah lagi.

Kendati memiliki tujuan mulia demi kepentingan rakyat, proyek food estate menuai pro dan kontra di Tanah Air. Musababnya, program lumbung pangan dianggap akan menimbulkan masalah lingkungan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan.

Program food estate ini mengeluarkan dana yang tidak kecil, pelaksanaannya pun berada di lahan-lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan baik itu hutan lindung, hutan produksi dimana sebagiannya berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan di atas lahan gambut. Ini yang membuat banyak pihak melancarkan kritik.

Bukan tanpa alasan, karena pemerintah sebelumnya juga sempat menggaungkan program yang sama tapi memunculkan kegagalan. Isu lingkungan menjadi perhatian utama bagi yang kontra terhadap food estate.

Bahkan banyak penelitian hingga kajian yang membuktikan bahwa program lumbung pangan nasional ini menimbulkan berbagai ancaman bagi kelestarian lingkungan.

Salah satu contohnya di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa dalam pembangunan food estate banyak ditemukan pelanggaran aturan pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Aktivitas dibukanya lahan hutan yang meningkatkan deforestasi dan pemanasan global telah menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah.

Selain di Kalimantan Tengah, berdasarkan laporan Walhi 2021, konflik agraria juga terjadi di sejumlah wilayah ketetapan food estate.

Baca Juga: Data Valid Food Estate, Hanya Tuhan dan Kementan yang Tahu!
Banyak Data Palsu Food Estate, DPR: Capek Melihat Kebohongan Ini

Di Papua juga misalnya, penolakan masyarakat adat terhadap food estate bukan tanpa alasan, melainkan karena melihat pengalaman akibat program lumbung pangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuat masyarakat adat Malind Anim dan masyarakat adat lainnya kehilangan hak ulayat, dimana tanahnya dikonversi menjadi lahan MIFEE.

Lantas demi mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian dan terintegrasi lewat food estate sepertinya masih jauh dari harapan. Sebab, belum ada hasil nyata yang berdampak bagi masyarakat. Tentunya untuk mendapatkan data validnya hanya Tuhan dan Kementerian Pertanian yang tahu.