Metode SRI Jadi Solusi Budidaya Padi di Tengah Perubahan Iklim

Penulis: Rashif Usman, Editor: Tatang Adhiwidharta - Jumat, 27 Januari 2023 | 13:00 WIB
Sariagri - Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena global yang patut untuk diwaspadai dan diantisipasi. Fenomena ini bahkan disebutkan akan berdampak lebih besar daripada pandemi COVID-19, misalnya kekeringan, tanah longsor, hingga kebakaran hutan.
Maka dari itu, perlu adanya upaya mitigasi dan adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim ini, tidak terkecuali bagi sektor pertanian yaitu didalam budidaya sawah. Sementara, petani Indonesia masih mengandalkan sejumlah besar genangan air dalam budidaya sawah. Padahal hal ini dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dan gas metana.
Dosen IPB University dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian Chusnul Arif mengatakan terdapat metode budidaya padi sawah yang mampu mengatasi hal tersebut, yaitu metode System of Rice Intensification (SRI). Ia telah mempelajari dan mempublikasi terkait metode SRI sejak tahun 2008.
“Sistem SRI mulai diperkenalkan di Madagaskar untuk membudidayakan padi di lahan yang mengalami kekeringan,” jelasnya, dikutip dari laman ipb.ac.id.
Ia menjelaskan, terdapat enam prinsip di dalam metode SRI. Pertama, benihnya muda sehingga hanya membutuhkan 7-14 hari dan dapat memotong waktu semai. Kedua, padi ditanam dengan jarak agak lebar untuk memberikan ruang tanaman dan anakannya untuk tumbuh. Ketiga, satu lubang ditanami satu tanaman.
Keempat, lanjutnya, sistem irigasi lebih efektif dengan metode intermiten atau berselang. Kelima, penyiangan secara intensif untuk mengurangi gulma sekaligus meningkatkan aerasi tanaman. Keenam, sangat direkomendasikan untuk menggunakan pupuk organik untuk menghasilkan produk lebih sehat.
"Kelebihannya, karena penggunaan benih lebih sedikit, tentu lebih hemat. Penghematan air juga bisa sampai 40 persen dan karena kondisinya lebih kering, sehingga gas metan atau emisinya dapat dikurangi," ujarnya.
Ia menambahkan, walau metode ini dinilai prospektif, penerapannya masih rendah karena mindset petani masih memilih metode konvensional. Introduksi metode SRI kepada petani tentu tidak akan mudah.
“Di samping itu, masih terdapat kendala dalam pra pasca panen. Penjualan produk organik biayanya dinilai lebih mahal dan sulit menemukan pasar yang pas,” lanjutnya.
Selain itu, petani masih menghadapi berbagai masalah teknis infrastruktur pertanian. Di Indonesia, masih sulit menemukan mesin yang dapat menanam benih satu per satu dengan lebih cepat. Mesin untuk mengatasi gulma dengan cepat juga masih belum ada dan infrastruktur pengairan belum canggih.
“Bila minimal 25 persen lahan sawah di Indonesia dapat diterapkan metode SRI, saya yakin ini dapat meningkatkan produksi beras nasional sehingga bisa swasembada beras,” tuturnya.
Baca Juga: Metode SRI Jadi Solusi Budidaya Padi di Tengah Perubahan IklimSederet Keunggulan Sistem Mina Padi Dibanding Monokultur
Ia mengungkapkan bahwa harus ada dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah dari sisi kebijakan dan infrastruktur. Perubahan mindset petani juga harus mulai didorong. Perguruan tinggi juga harus bisa menjadi pendamping dan berkolaborasi bersama pihak yang lain.
“Menurut saya, harus ada usaha untuk meningkatkan minat generasi muda untuk terjun ke dalam sektor pertanian agar dapat menjadi penerus pertanian melalui perubahan mindset,” tutupnya.