Laporan Khusus: Dilema Negeri Beras, Swasembada Berujung Impor

Editor: Dera - Jumat, 20 Januari 2023 | 22:00 WIB
Sariagri - Baru-baru ini persoalan beras di Tanah Air tengah bergulir panas. Makanan pokok masyarakat Indonesia sejak masa kerajaan kuno tersebut seakan menjadi polemik baru bagi negeri ini.
Beras atau nasi memang tak hanya sebagai kebutuhan pangan semata, tapi juga merupakan bagian dari budaya Indonesia.
"Belum Kenyang Kalau Belum Makan Nasi"
Istilah itu mungkin sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Tanah Air, mindset tersebut seakan sudah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Ibarat candu, masyarakat pun menjadi ketergantungan. Alhasil, permintaan beras kian meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk.
Sebagai negara agraris dengan lahan pertanian yang luas, Indonesia seharusnya tak perlu khawatir dalam mengamankan ketersediaan beras.
Pasalnya, pada tahun 1984, Indonesia berhasil swasembada dengan memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton. Pencapaian tersebut kemudian mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Kesuksesan itu juga menjadi bukti bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Namun seiring berjalannya waktu dari masa ke masa, produksi beras kini penuh tantangan. Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut kendala utama yang dihadapi adalah cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan, sehingga terlambat tanam dan mengakibatkan penurunan luas panen, adanya alih fungsi lahan, hingga persaingan antar komoditas.
Namun jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) beberapa waktu lalu, kondisi beras nasional saat ini cukup dan aman. Pihaknya memastikan produksi beras nasional terus mengalami peningkatan.
Bahkan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan memiliki target produksi gabah untuk tahun 2023 sebesar 55,9 juta ton atau setara 32,24 juta ton beras. Sementara konsumsi beras penduduk Indonesia pada 2023 diperkirakan mencapai 30,20 juta ton. Artinya, produksi beras 2023 diprediksi mengalami "surplus".

Swasembada Cepat Berlalu
Masih teringat jelas pada 14 Agustus 2022 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu bangga ketika Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, utamanya kepada pelaku riil yang bekerja di sawah, para petani Indonesia, atas kerja kerasnya tentu saja, para bupati, para gubernur, Kementerian Pertanian yang semuanya bekerja sama dengan riset-riset dari universitas-universitas, perguruan tinggi yang kita miliki. Ini adalah kerja yang terintegrasi, kerja bersama-sama, kerja gotong-royong, bukan hanya milik kementerian saja,” ungkap Jokowi usai menerima penghargaan.
Pada kesempatan tersebut, Mentan Syahrul juga mengatakan penghargaan ini merupakan wujud pengakuan dunia internasional terhadap sistem pertanian dan pangan Indonesia.
“(IRRI) telah memberikan pengakuan terhadap sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019-2021 melalui penggunaan teknologi dan inovasi berbagai aspek di bidang pertanian. Indonesia bahkan telah berhasil membangun berbagai bendungan dan irigasi yang menjadi tolok ukur hadirnya pertanian yang kuat,” ujar Syahrul.

Gaduh Impor Beras
Ironinya, hanya berselang empat bulan setelah meraih penghargaan swasembada beras, Indonesia justru berencana melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton. Sontak, wacana tersebut langsung menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Terlebih data beras yang dilampirkan Kementan dan Bulog ternyata berbeda.
Kementan mengklaim jika ketersediaan beras dalam negeri aman dan bisa memenuhi Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Namun Bulog secara blak-blakan menyebut pasokan beras yang ada tak sebanyak yang dikatakan Kementan. Bulog mengaku hanya mampu membeli 166.000 ton beras dari hasil data yang diberikan Kementan sebesar 610.632 ton yang tersebar di 22 provinsi.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono buka suara ihwal perbedaan data pasokan beras di Kementan dan Bulog. Berdasarkan catatan BPS, produksi beras pada 2022 masih mencukupi jika dibandingkan dengan perkiraan konsumsinya.
Namun pihaknya menjelaskan permasalahan beras terjadi karena panen raya yang berlangsung pada Maret-April 2022 hanya terjadi di beberapa wilayah saja. Tidak semua provinsi merupakan sentra produksi padi. Sehingga pemerintah perlu mengelola penyaluran dari wilayah yang surplus ke wilayah yang kekurangan pasokan beras.
Margo menambahkan, saat panen raya, seharusnya Bulog melakukan penyerapan sebagai cadangan beras pemerintah. Agar pada masa gagal panen, stok itu bisa dimanfaatkan dan bisa didistribusikan ke masyarakat.
Di sisi lain, Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menilai perbedaan data stok beras nasional menandakan kurang harmonisnya kinerja antar instansi pemerintah. Sehingga, kebijakan impor beras yang diambil dianggap tidak akurat, bahkan merugikan para petani Indonesia.
“Persoalan rendahnya penyerapan produksi petani oleh Bulog ini harus dievaluasi. Jangan sampai ini malah dijadikan alasan untuk melakukan impor beras” tutur Johan.
Restu Presiden Jokowi
Di tengah polemik beras yang kian memanas, pemerintah akhirnya memutuskan impor beras setelah mengadakan Rapat Terbatas bersama Presiden Joko Widodo. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) juga memberikan persetujuannya dengan menaken izin impor sebanyak 500.000 ton beras kepada Bulog. Beras impor tersebut rencananya akan masuk ke Indonesia pada dua tahap, yaitu dimulai pada Desember 2022-Februari 2023.
"Iya betul jadi (impor beras), tadinya kami tidak ada yang ingin impor beras tapi harga beras naik maka kita harus beli. Kenapa harus beli? karena Bulog operasi pasar barang habis stok tinggal sedikit. Nanti bisa terganggu,"ungkap Zulhas di Kementerian Perdagangan, Kamis (8/12/2022).

Petani Kecewa
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat, Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan kebijakan impor beras yang diambil pemerintah. Menurutnya, pemerintah kelihatan lemah dalam mengurusi cadangan pangan nasional dan perencanaan penyerapan hasil panen petani.
"Poin pentingnya adalah persoalan koordinasi antar kementerian atau lembaga. Misalnya ketika panen raya di 2022, pemerintah melalui Bulog tidak menyerap secara maksimal. Akibatnya muncul lah wacana impor untuk mengatasi cadangan pangan pemerintah yang menipis," ungkap Mujahid kepada Sariagri, Kamis (19/1/2023).
Ia mengungkapkan, jika Bulog ingin menyerap beras atau gabah dari petani, maka naikan terlebih dahulu Harga Pokok Penjualan (HPP) Gabah Kering Giling (GKG) Rp5.600 per kilogram, sesuai dengan kenaikan biaya produksi petani, karena panen raya jatuh bersamaan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri, di mana harga beras masih akan tinggi.
"Bulog tidak akan mendapatkan gabah atau beras dengan HPP sekarang Rp4.200 per kg, dan ini menjadi alasan Bulog untuk impor lagi karena beras di tingkat petani tinggi," keluhnya.
Kesejahteraan Petani "Kunci Sukses" Swasembada
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed, Prof Ir Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan impor beras sebenarnya sah-sah saja dilakukan, asalkan memperhatikan kondisi perberasan yang ada di Indonesia.
"Kalau tidak melihat situasi beras nasional, ya justru akan menimbulkan kekacauan atau hal-hal yang merugikan Indonesia sendiri. Ketika kondisi perberasan memang dalam keadaan minus tidak ada beras, justru dengan impor itu akan membantu," ujar Totok sapaan akrabnya kepada Sariagri, Kamis (19/1/2023).
Akan tetapi Totok menyampaikan, jika melihat data BPS sebenarnya kondisi beras nasional aman, sehingga keputusan impor dinilai tidak tepat. Menurutnya, keputusan impor seharusnya tidak hanya melihat stok beras yang ada di Bulog.
"Kalau mau impor itu harus tepat waktu, tepat jenis beras yang diimpor, kemudian perlu tepat sasaran penggunaan. Nah kalau itu terpenuhi impor tidak akan mengganggu kesejahteraan petani. Tapi kalau itu tidak terpenuhi impor pada saat petani panen raya berarti itu membunuh petani," paparnya.
"Sebetulnya alasan impor dengan memperhatikan Bulog tidak memiliki stok yang kurang cukup tidak tepat, karena sebetulnya beras itu ada di masyarakat. Cuma Bulog belum mampu melakukan pengadaan ini terkait dengan pasar, misal harga pas tinggi atau harga di atas rata-rata yang ditetapkan oleh Bulog sehingga Bulog tidak mampu menyerap," sambung Totok.
Oleh karenanya, ia mengusulkan agar Bulog membuat inovasi baru dalam menyelesaikan persoalan ketersediaan beras. Sebab, selama ini Bulog menggunakan strategi konvensional yakni tidak ada stok beras maka mengambil kebijakan impor.
"Ini dugaan saya perlu dilakukan inovasi agar Bulog juga mengembangkan cara-cara lain selain impor. Contohnya mencari beras yang ada di pasar. Walaupun harganya tinggi, tapi demi ketersediaan stok dan menjamin ketahanan pangan nasional harus dibeli. Jadi tidak harus bergantung ke luar negeri," tegasnya.
"Lagi pula kalau dibeli dengan harga pasar supaya bisa memiliki stok itu petani akan menjadi senang, karena panen yang terjual dengan harga layak itu kan juga membahagiakan petani," tambahnya.
Namun, Totok tetap optimis Indonesia mampu mencapai swasembada kembali demi memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, khususnya untuk masyarakat dengan harga ekonomi yang terjangkau.
"Saya punya keyakinan itu. Dari pengalaman panjang Kementerian Pertanian dan Pemerintah daerah untuk memproduksi beras itu fokus. Saya optimis ke depan ketahanan pangan itu bisa kita capai. Banyak strategi yang bisa kita capai terutama memanfaatkan lahan-lahan kering dan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara luas bahkan di lahan perkebunan," jelasnya.
Guna mencapai swasembada beras, maka paradigma dari Kementerian atau instansi terkait perlu dirubah. Dari yang awalnya mengejar produksi dan produktivitas dirubah untuk mengejar kesejahteraan petani.
Baca Juga: Laporan Khusus: Dilema Negeri Beras, Swasembada Berujung ImporSerapan Beras Nyaris Tembus 1 Juta Ton, DPR: Tak Ada Alasan Impor Beras!
"Kementerian atau instansi terkait dengan pertanian itu perlu merubah paradigma dari target utama meningkatkan produksi dan produktivitas menjadi target utama meningkatkan kesejahteraan petani. Itu saja dulu. Kalau itu bisa tercapai insya Allah kita akan sejahtera," harap Totok dengan penuh optimis.
"Ketika petani itu disejahterakan maka dia akan bekerja penuh dengan semangat. Kalau pekerjaan mereka penuh semangat karena dia senang maka produktivitas naik dengan sendirinya. Pemerintah akan panen produktivitas tinggi itu akibat dari kesejahteraan petani," tutupnya.
Tim Laporan Khusus:
- Reporter: Rashif Usman
- Grafis: Faisal Fadly