Banyak Masalah Krusial dari Hulu ke Hilir Pupuk Bersubsidi

Editor: Reza P - Minggu, 25 Desember 2022 | 10:00 WIB
Sariagri - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Erma Rini menjelaskan, alih-alih swasembada pangan, data impor beras pemerintah tiap tahunnya sangat mengiris hati petani lokal. Pada 2019, total impor mencapai 444,50 ribu ton, lalu 356,28 ribu ton pada 2020, naik jadi 407,74 ribu ton pada 2021, dan hingga Oktober 2022 sudah 301 ribu ton.
Atas nama pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan stabilisasi harga, impor terus menjadi pilihan kebijakan pangan.
"Padahal, jauh lebih penting dalam kebijakan pangan adalah keberpihakan pada petani lokal. CBP dan harga terjangkau itu penting, tapi setiap isu impor mencuat, mental petani kita pasti jatuh, dan ini jauh lebih berbahaya karena sangat berpengaruh pada produktivitas petani. Sebab, petani merasa tidak punya harapan terhadap lahan garapannya karena pemerintah dinilai tidak berpihak pada mereka," ujar Anggia dalam keterangannya di Jakarta, yang dikutip Minggu (25/12).
Salah satu elemen yang masih sering menjadi kendala adalah ketersedian pupuk bersubsidi untuk petani. Anggia melihat masih banyak masalah krusial yang belum tertangani secara baik. Dari sisi anggaran alokasi pupuk bersubsidi, tiga tahun terakhir selalu mengalami penurunan. Pada 2019 dialokasikan 29 triliun, tetapi turun menjadi Rp 26 triliun pada 2020, lalu turun lagi menjadi Rp 25,2 triliun pada 2021 dan 2022.
"Dari sisi penyaluran, terdapat masalah data kebutuhan pupuk bersubsidi dan e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok secara elektronik) yang tidak valid dan akurat sehingga distribusinya bermasalah," jelasnya.
Banyak petani yang tidak terdaftar di e-RDKK, sering terjadi kelambatan pupuk bersubsidi akibat lambatnya penetapan alokasi oleh pemerintah di daerah, kinerja penyuluh pertanian mengenai penggunaan pupuk berimbang yang masih belum optimal, hingga penyaluran melalui kartu tani masih bermasalah hampir di semua daerah. Penerbitan kartu tani harus berdasarkan e-RDKK sementara e-RDKK masih bermasalah.
"Di 2023 perlu ada perbaikan tata kelola penyaluran, misalnya penyalurannya dapat melalui BumDes, juga penerbitan kartu tani perlu didukung infrastruktur yang baik serta sosialisasi lebih luas. Perbaikan data terkait luas lahan petani harus dilakukan agar pupuk subsidi tepat sasaran. Selain itu, pengembangan pupuk organik perlu dimasifkan melalui pemanfaatan program UPPO," tegasnya.
Baca Juga: Banyak Masalah Krusial dari Hulu ke Hilir Pupuk BersubsidiLegislator Khawatir RI Alami Krisis Pupuk, Pasokan Pangan Bakal Berkurang
Secara holistik, Anggia memandang catatan kebijakan pangan sepanjang 2022 ini harus menjadi evaluasi mendasar agar bolong-bolong dan kelemahan yang terjadi di sana-sini dapat diminimalisir pada 2023. Sumber daya pertanian, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lahan dan potensi komoditasnya butuh dikelola lebih baik lagi.
"Hasil monitoring, evaluasi, review, dan refleksi kebijakan pangan pada 2022 ini harus dapat digunakan sebagai bahan penting untuk melakukan langkah-langkah lebih strategis dan aksi nyata perbaikan tata kelola pangan yang lebih berdampak dan lebih bermanfaat buat masyarakat secara luas," pungkas dia.