Pengolahan Tanah Intensif Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca Pertanian

Editor: Tanti Malasari - Selasa, 23 Agustus 2022 | 08:00 WIB
Sariagri - Sariagri - Pengolahan tanah secara intensif ternyata bisa menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dari ladang pertanian, termasuk termasuk emisi karbon dioksida dan dinitrogen oksida yang membahayakan lingkungan.
Seiring meningkatnya intensitas pengolahan tanah, maka akan lebih banyak karbon dan nitrogen yang tersimpan di tanah dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca.
Hal tersebut diungkapkan oleh Chaoqun Lu, profesor ekologi, evolusi, dan biologi organisme dari Iowa State University, AS. Profesor Lu dan timnya melakukan penelitian ini di sejumlah lahan pertanian jagung dan kedelai di AS.
Penelitian timnya menunjukkan bahwa emisi nitrit oksida dari lahan pertanian di lahan pertanian Jagung AS telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karena penerapan pupuk nitrogen secara luas ke lahan pertanian.
Ia menjelaskan, nitrogen yang ditambahkan petani sebagian diserap oleh tanaman tetapi sisanya tetap berada di tanah atau hilang ke lingkungan. Selama proses ini, mikroorganisme yang hidup di tanah mengkonsumsi senyawa yang mengandung nitrogen dan mengeluarkan nitro oksida ke udara sebagai produk sampingan.
Sementara itu, bahan organik tanah terurai dan sebagian berubah menjadi karbon dioksida. Keduanya merupakan gas rumah kaca kuat yang berpotensi menghangatkan iklim, jelas Profesor Lu.
Ia menegaskan, praktik pengolahan tanah yang intensif sangat mengganggu tanah, dengan mengubah kelembaban tanah dan status aerasi, serta mengaduk sisa tanaman yang berat ke dalam tanah. Proses ini bersama-sama mengubah tingkat produksi gas rumah kaca (GRK) tanah dan memungkinkan lebih banyak GRK tersebut terlepas ke udara.
Baca Juga: Pengolahan Tanah Intensif Tingkatkan Emisi Gas Rumah Kaca Pertanian
Manfaat Tanaman Porang, Keluarga Umbi-umbian yang Bernilai Ekonomi Tinggi
Di AS, intensitas pengolahan tanah mulai meningkat sekitar tahun 2009 ketika tumbuhnya resistensi gulma terhadap herbisida glifosat umum, sehingga mengurangi efektivitas herbisida dan membuat pengolahan tanah menjadi pilihan pengendalian gulma yang lebih menarik.
Profesor Lu menganjurkan penggunaan herbisida alternatif untuk memerangi gulma tahan glifosat, atau menggunakan glifosat dalam beberapa tahun berturut-turut, serta diversifikasi tanaman selain jagung dan kedelai sebagai pilihan untuk mengendalikan gulma tanpa meningkatkan emisi gas rumah kaca.
"Tanpa strategi yang efektif untuk mengendalikan gulma, intensitas pengolahan tanah dapat terus tumbuh di masa depan, dan dapat merusak pencapaian mitigasi gas rumah kaca dari kegiatan pertanian lainnya," ujar Profesor Lu seperti dilansir dari laman resmi Iowa State University.